Thursday, 5 January 2012

ULUM QURAN : Sejarah Pengumpulan Al-Quran ( 3 ZAMAN )





Bismillah........

Pengenalan
Al-Quran adalah wahyu yang diturunkan dari langit oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril a’s. Sejarah penurunannya selama 23 tahun secara berangsur-angsur telah memberi kesan yang sangat besar dalam kehidupan seluruh manusia. Di dalamnya terkandung pelbagai ilmu, hikmah dan pengajaran yang tersurat maupun tersirat.


Sebagai umat Islam, kita haruslah berpegang kepada Al-Quran dengan membaca, memahami dan mengamalkan serta menyebarluas ajarannya. Bagi mereka yang mencintai dan mendalaminya akan mengambil iktibar serta pengajaran, lalu menjadikannya sebagai panduan dalam meniti kehidupan dunia menuju akhirat yang kekal abadi.


Mushaf Al-Qur’an yang ada di tangan kita sekarang ternyata telah melalui perjalanan panjang yang berliku-liku selama kurun waktu lebih dari 1400 tahun yang silam dan mempunyai latar belakang sejarah yang menarik untuk diketahui. Selain itu jaminan atas keotentikan Al-Qur’an langsung diberikan oleh Allah SWT yang termaktub dalam firman-Nya QS.AL Hijr -(15):9: 

“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan adz-Dzikr (Al-Qur’an), dan kamilah yang akan menjaganya”




Penulisan Al-Quran pada zaman Rasulullah SAW.

Penulisan Al-Qur’an pada zaman Rasulullah SAW dilakukan dengan dua cara:

Pertama : al Jam’u fis Sudur
Para sahabat langsung menghafalnya diluar kepala setiap kali Rasulullah SAW menerima wahyu. Hal ini boleh dilakukan oleh mereka dengan mudah oleh faktor kebudayaan dan adat  orang arab yang menjaga Turast yakni peninggalan nenek moyang mereka diantaranya berupa syair atau cerita dengan kaedah menghafal dan mereka sangat masyhur dengan kekuatan daya hafalannya.


Kedua : al Jam’u fis Suthur
Iaitu wahyu turun kepada Rasulullah SAW ketika beliau berumur 40 tahun yaitu 12 tahun sebelum hijrah ke madinah. Kemudian wahyu terus menerus turun selama 23 tahun berikutnya dimana Rasulullah. SAW setiap kali turun wahyu kepadanya selalu membacakannya kepada para sahabat secara langsung dan menyuruh mereka untuk menuliskannya selain melarang para sahabat untuk menulis hadis-hadis beliau karena khuatir akan bercampur dengan Al-Qur’an. Rasul SAW bersabda :

“Janganlah kalian menulis sesuatu dariku kecuali Al-Qur’an, barangsiapa yang menulis sesuatu dariku selain Al-Qur’an maka hendaklah ia menghapusnya ” 

(Hadis dikeluarkan oleh Muslim (pada Bab Zuhud ) dan Ahmad (hal 1).


Biasanya sahabat menuliskan Al-Qur’an pada bahan yang terdapat pada waktu itu berupa ar-Riqa’ (kulit binatang), al-Likhaf (lempengan batu), al-Aktaf (tulang binatang), al-`Usbu ( pelepah kurma). Sedangkan jumlah sahabat yang menulis Al-Qur’an waktu itu mencapai 40 orang. Adapun hadis yang menguatkan bahwa penulisan Al-Qur’an telah terjadi pada masa Rasulullah s.a.w. adalah hadis yang di Takhrij (dikeluarkan) oleh al-Hakim dengan sanadnya yang bersambung pada Anas r.a., ia berkata: 

“Suatu saat kita bersama Rasulullah s.a.w. dan kita menulis Al-Qur’an (mengumpulkan) pada kulit binatang “.


Dari kebiasaan menulis Al-Qur’an ini menyebabkan timbul dengan banyaknya naskah-naskah (manuskrip) yang dimiliki oleh penulis-penulis wahyu, diantaranya yang terkenal adalah: Ubay bin Ka’ab, Abdullah bin Mas’ud, Mu’adz bin Jabal, Zaid bin Tsabit dan Salim bin Ma’qal.


Adapun hal-hal yang lain yang boleh menguatkan fakta bahawa telah terjadi penulisan Al-Qur’an pada waktu itu tetapi Rasulullah SAW melarang membawa tulisan Al-Qur’an ke wilayah musuh. Rasulullah s.a.w. bersabda: 

“Janganlah kalian membawa catatan Al-Qur’an kewilayah musuh, kerana aku merasa tidak aman (khuatir) apabila catatan Al-Qur’an tersebut jatuh ke tangan mereka”.


Kisah pemelukan islamnya sahabat `Umar bin Khattab r.a. yang disebutkan dalam buku-bukus sejarah bahawa waktu itu `Umar mendengar saudara perempuannya yang bernama Fatimah sedang membaca awal surah Thaha dari sebuah catatan (manuskrip) Al-Qur’an kemudian `Umar mendengar, meraihnya kemudian membacanya, inilah yang menjadi sebab dia mendapat hidayah dari Allah sehingga dia memeluk islam. Sepanjang hidup Rasulullah s.a.w, Al-Qur’an selalu ditulis apabila beliau mendapat wahyu kerana Al-Qur’an diturunkan secara beransur-ansur walaupun terdapat pendapat yang mengatakan secara sekaligus.




Penulisan Al-Quran pada zaman Khalifah Abu Bakar as Siddiq
Sepeninggalan Rasulullah SAW, isterinya Siti `Aisyah menyimpan beberapa naskah catatan (manuskrip) Al-Qur’an, dan pada masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar r.a terjadilah Jam’ul Quran iaitu pengumpulan naskah-naskah atau manuskrip Al-Qur’an yang susunan surah-surahnya menurut riwayat masih berdasarkan pada turutan turunnya wahyu (hasbi tartibin nuzul).


Imam Bukhari meriwayatkan dalam shahihnya sebab-sebab pengumpulan naskah-naskah Al-Qur’an terjadi pada zaman Abu Bakar iaitu Atsar yang diriwatkan dari Zaid bin Tsabit r.a. yang berbunyi:


“Suatu ketika Abu bakar menemuiku untuk menceritakan berita mujahidin yang terkorban dalam peperang Yamamah , ternyata Umar juga bersamanya. Abu Bakar berkata" 

Umar menghadap kapadaku dan mengatakan bahwa jumalah korban yang gugur pada perang Yamamah sangat banyak khususnya dari kalangan para penghafal Al-Qur’an, aku khawatir kejadian serupa akan menimpa para penghafal Al-Qur’an di beberapa tempat sehingga suatu saat tidak akan ada lagi sahabat yang hafal Al-Qur’an, menurutku sudah saatnya engkau wahai khalifah memerintahkan untuk mengumpul-kan Al-Qur’an, lalu aku berkata kepada Umar : 

" Bagaimana mungkin kita melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah s.a.w ? ”

Umar menjawab: “Demi Allah, ini adalah sebuah kebaikan”

Selanjutnya Umar selalu saja mendesakku untuk melakukannya sehingga Allah melapangkan hatiku, maka aku setuju dengan usul umar untuk mengumpulkan Al-Qur’an.


Zaid berkata: Abu bakar berkata kepadaku : “engkau adalah seorang pemuda yang cerdas dan pintar, kami tidak meragukan hal itu, dulu engkau menulis wahyu (Al-Qur’an) untuk Rasulullah s. a. w., maka sekarang periksa dan telitilah Al-Qur’an lalu kumpulkanlah menjadi sebuah mushaf”.


Zaid berkata : “Demi Allah, andaikata mereka memerintahkan aku untuk memindah salah satu gunung tidak akan lebih berat dariku daripada memerintahkan aku untuk mengumpulkan Al-Qur’an. Kemudian aku teliti Al-Qur’an dan mengumpulkannya dari pelepah kurma, lempengan batu, dan hafalan para sahabat yang lain).


Kemudian Mushaf hasil pengumpulan Zaid tersebut disimpan oleh Abu Bakar, peristiwa tersebut terjadi pada tahun 12 H. Setelah ia wafat disimpan oleh khalifah sesudahnya iaitu Umar, setelah beliau wafat mushaf tersebut disimpan oleh puterinya dan sekaligus isteri Rasulullah s.a.w. yang bernama Hafsah binti Umar r.a.


Semua sahabat sepakat untuk memberikan sokongan penuh mereka terhadap apa yang telah dilakukan oleh Abu bakar yakni mengumpulkan Al-Qur’an menjadi sebuah Mushaf. Kemudian para sahabat membantu meneliti naskah-naskah Al-Qur’an dan menulisnya kembali. Sahabat Ali bin Abi Thalib mengulas peristiwa yang bersejarah ini dengan mengatakan : ” Orang yang paling berjasa terhadap Mushaf adalah Abu bakar, semoga ia mendapat rahmat Allah kerana beliaulah yang pertama kali mengumpulkan Al-Qur’an, selain itu juga, Abu bakarlah yang pertama kali menyebut Al-Qur’an sebagai Mushaf).


Menurut riwayat yang lain, yang pertama kali menyebut Al-Qur’an sebagai Mushaf adalah sahabat Salim bin Ma’qil pada tahun 12 H dengan akhir perkataannya iaitu : 

“Kami menyebut di negara kami untuk naskah-naskah atau manuskrip Al-Qur’an yang dikumpulkan dan dinamakan sebagai MUSHAF” dari perkataan salim inilah Abu bakar mendapat inspirasi untuk menamakan naskah-naskah Al-Qur’an yang telah dikumpulkannya sebagai al-Mushaf as Syarif (kumpulan naskah yang mulya). Dalam Al-Qur’an sendiri kata Suhuf (naskah ; jama’nya Sahaif) tersebut 8 kali, salah satunya adalah firman Allah QS. Al Bayyinah (98):2 

” Iaitu seorang Rasul utusan Allah yang membacakan beberapa lembaran suci. (Al-Qur’an) ”



Penyalinan semula al-Quran zaman Khalifah Sayyidina Uthman bin Affan

Pada masa pemerintahan Khalifah Usman bin ‘Affan terjadi perluasan wilayah islam di luar Jazirah arab sehingga menyebabkan umat islam bukan hanya terdiri dari bangsa arab saja (‘Ajamy). Keadaan ini tentunya memiliki impak positif dan negatif.


Salah satu impaknya adalah ketika mereka membaca Al-Qur’an, karana bahasa asli mereka bukan bahasa arab. Fenomena ini diatasi secara bijak oleh salah seorang sahabat yang juga sebagai panglima perang pasukan muslimin yang bernama Hudzaifah bin al-yaman.


Imam Bukhari meriwayatkan dari Anas r.a. suatu ketika Huzaifah bin al-Yaman bersama pasukan tentera Muslimin yang lain terlibat dalam peperangan di Armenia dan di Azerbaijan pada tahun ke-2 atau ke-3 Sayyidina Uthman menjadi khalifah. Dalam peperangan itu, terdapat ramai jemaah dari Syam tang membaca al-Quran menurut bacaan Miqdad bin Aswad dan Abu Darda’ sementara jemaah dari Iraq pula membaca menurut bacaan Ibnu Mas’ud dan Abu Musa al-Asy’ari.

Dalam mengutamakan bacaan pilihan mereka itu, sebahagian mereka ada yang sudah melampaui batas sehingga timbul perselisihan yang membuat mereka berkelahi dan berpecah-belah sehingga sampai satu tahap seseorang berkata kepada yang lain :

“ Bacaan saya lebih baik dari bacaanmu “

Perselisihan itu sudah mencapai klimaksnya dengan timbulnya pergaduhan, berselisih pendapat yang teruk, saling tuduh-menuduh antara satu sama lain, melaknat sesama sendiri, mengkafirkan orang lain dan menganggap hanya bacaan dirinya yang benar.
Melihat kepada perselisihan itu, Huzaifah bin al-Yaman pulang ke Madinah dan lantas menemui Khalifah Uthman lalu berkata :

“ Cepat selamatkan ummat ini sebelum menemui kehancuran “
“ Mengenai apa ? “  tanya Uthman
“ Kitabullah “  kata Huzaifah

Seterusnya beliau menceritakan tentang kejadian perselisihan tersebut seraya berkata :

“ Saya khuatir mereka akan berselisih pendapat tentang kitab suci kita seperti orang-orang Yahudi dan Nasrani “

Khalifah Uthman kemudian mengumpulkan beberapa Cendiakawan Islam untuk membincangkan permasalahan tersebut. Seorang cendiakawan telah mencadangkan supaya harus ada satu sahaja bacaan, kerana bimbang perselisihan tersebut akan lebih parah. Dalam kalangan pemikir Islam ketika itu bersetuju dengan pendapat tersebut. Kemudian Khalifah Uthman mengutuskan seorang utusan kepada Hafsah dengan tujuan agar mengirimkan Mushaf yang ada di tangan Khalifah Abu Bakar untuk disalin ke dalam beberapa Mushaf.

Kemudian Khalifah Uthman memerintahkan kepada Zaid bin Thabit al-Ansari untuk menulis mushaf Uthman dan diimlakan oleh Sa’id bin al-Umawi, dengan disaksikan oleh Abdullah bin Zubair dan Abdurrahman bin Haris bin Hisyam al-Makhzumi.

Sesudah selesai penulisan tersebut, Khalifah Uthman memerintahkan untuk dibukukan beberapa mushaf dan dihantar ke raja-raja di Syam, Mesir, Basrah, Kufah, Mekah, Yaman dan Madinah. Sesudah mushaf-mushaf itu dikirim ke kota-kota tersebut, Khalifah Uthman mewajibkan supaya bacaan itu sahaja yang dipakai dan digunakan selain memerintahkan mushaf-mushaf yang lain dikumpul dan dibakar.

Atas tindakan itu, ramai orang yang menunjukkan ketidakpuasan hati antaranya beberapa orang sahabat dan tabi’in. Mereka mengecam Uthman kerana perkara itu tidak pernah dilakukan Rasulullah S.A.W, Khalifah Abu Bakar dan Khalifah Umar. Khalifah Uthman kemudian menulis surat kepada mereka dengan mengajak mereka mengikuti sahabat-sahabat yang lain yang sudah sama-sama menyetujui demi kebaikan bersama dan menghindari perselisihan.

Reaksi Ali bin Abi Thalib


“ Tidak perlu diragukan lagi apa yang dilakukan Uthman tentang penyeragaman bacaan Quran, merupakan kebijaksanaan yang luar biasa, kerana dengan tindakan tersebut, al-Quran tetap terjaga kemurniannya “
Ali menambah lagi :


“ Kalau dia Khalifah Uthman tidak melakukan itu yakni penyeragaman bacaan Quran, maka aku yang akan melakukannya “

Wallahu'allam...........


No comments:

Post a Comment